Bukan Kesempurnaanmu yang Mereka Butuhkan, Tapi Pelukan Setelah Teguran

Malang, SD MUTU KAWI – Narasi Kepala Sekolah tentang Pendidikan Berbasis Hati dan Hikmah dalam Perspektif Islam

Sebagai seorang pendidik, saya tidak hanya menyaksikan anak-anak belajar membaca, berhitung, atau menulis. Saya menyaksikan mereka tumbuh. Saya melihat mereka tertawa, kadang menangis, dan sering kali mencoba mengerti dunia yang bagi mereka masih begitu luas dan misterius. Namun yang paling menyentuh hati saya adalah: betapa anak-anak tidak menuntut kita, orang dewasa, baik sebagai orangtua maupun guru untuk sempurna. Mereka hanya ingin dimengerti dan didekati.

Dalam proses mendidik, tidak sedikit dari kita yang terburu-buru ingin membentuk anak menjadi sempurna. Kita menuntut mereka disiplin, mandiri, bertanggung jawab, berprestasi. Semua itu mulia. Tetapi seringkali, jalan yang kita tempuh justru terlalu keras. Kita menegur tanpa memberi ruang untuk bertanya. Kita mengoreksi tanpa mendengarkan alasan. Kita menghukum tanpa memahami luka.

Dan lebih dari itu, kita lupa bahwa Islam bukan hanya tentang benar dan salah. Tapi tentang bagaimana menyampaikan yang benar, dan bagaimana merangkul setelah menegur. Rasulullah ﷺ, teladan agung dalam pendidikan, tidak dikenal karena suara kerasnya. Beliau tidak mengubah umat dengan bentakan, tapi dengan rahmah (kasih sayang). Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.” (HR. Muslim)

Jika kasih sayang menjadi syarat turunnya rahmat, bagaimana mungkin kita berharap anak-anak kita tumbuh dengan iman dan akhlak jika yang mereka terima hanya kemarahan dan ketegasan tanpa kehangatan?

Anak-anak bukan batu yang bisa dibentuk dengan palu. Mereka adalah tanah subur yang harus disirami dengan sabar, dengan nasihat yang baik, dan dengan pelukan yang hangat setelah sebuah teguran. Allah ﷻ sendiri memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk berkata dengan lemah lembut kepada Fir’aun, seorang tiran yang mengaku sebagai Tuhan. Allah berfirman:

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 44)

Jika kepada Fir’aun saja diperintahkan untuk berkata lembut, bagaimana dengan anak-anak kita yang belum sempurna ilmunya, belum teguh hatinya, dan masih mencari arah hidupnya?

Tentu, bukan berarti kita tidak boleh menegur. Tapi teguran itu harus dibingkai dengan cinta. Disampaikan dengan niat mendidik, bukan melukai. Dan yang paling penting: setelah menegur, peluklah mereka. Bukan hanya dengan tangan, tapi dengan pemahaman, penerimaan, dan harapan. Saya menyampaikan ini bukan hanya sebagai kepala sekolah, tetapi sebagai seorang hamba yang juga sedang belajar menjadi pendidik yang diridhai Allah. Saya memahami bahwa dalam perjalanan mendidik, kita akan lelah, kecewa, bahkan putus asa. Tapi yakinlah, anak-anak tidak membutuhkan kita untuk selalu sempurna. Mereka hanya butuh melihat kita tulus, jujur, dan mau berbenah.

Mari kita ubah cara pandang mendidik bukan tentang menunjukkan siapa yang salah, tapi tentang menuntun menuju yang benar. Mendidik bukan tentang menghakimi, tapi menemani. Sebagaimana Imam Ibn Qayyim rahimahullah berkata:

“Dasar pendidikan adalah kasih sayang. Jika hilang kasih sayang, maka pendidikan hanya akan menjadi hukuman.”

Sekarang kita, para guru dan orangtua, harus menjadi sumber ketenangan di tengah tekanan hidup anak-anak. Jadikan teguran sebagai pintu perbaikan, dan pelukan sebagai jembatan hati. Karena pada akhirnya, bukan kesempurnaan kita yang akan dikenang anak-anak, tapi cara kita mencintai mereka saat mereka paling butuh dikuatkan.

Semoga Allah menjadikan kita guru dan orangtua yang sabar, penuh hikmah, dan dicintai karena kelembutan kita dalam mendidik. Barokallahu fiikum.

Sebagai seorang pendidik, saya tidak hanya menyaksikan anak-anak belajar membaca, berhitung, atau menulis. Saya menyaksikan mereka tumbuh. Saya melihat mereka tertawa, kadang menangis, dan sering kali mencoba mengerti dunia yang bagi mereka masih begitu luas dan misterius. Namun yang paling menyentuh hati saya adalah: betapa anak-anak tidak menuntut kita, orang dewasa, baik sebagai orangtua maupun guru untuk sempurna. Mereka hanya ingin dimengerti dan didekati.

Dalam proses mendidik, tidak sedikit dari kita yang terburu-buru ingin membentuk anak menjadi sempurna. Kita menuntut mereka disiplin, mandiri, bertanggung jawab, berprestasi. Semua itu mulia. Tetapi seringkali, jalan yang kita tempuh justru terlalu keras. Kita menegur tanpa memberi ruang untuk bertanya. Kita mengoreksi tanpa mendengarkan alasan. Kita menghukum tanpa memahami luka.

Dan lebih dari itu, kita lupa bahwa Islam bukan hanya tentang benar dan salah. Tapi tentang bagaimana menyampaikan yang benar, dan bagaimana merangkul setelah menegur. Rasulullah ﷺ, teladan agung dalam pendidikan, tidak dikenal karena suara kerasnya. Beliau tidak mengubah umat dengan bentakan, tapi dengan rahmah (kasih sayang). Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.” (HR. Muslim)

Jika kasih sayang menjadi syarat turunnya rahmat, bagaimana mungkin kita berharap anak-anak kita tumbuh dengan iman dan akhlak jika yang mereka terima hanya kemarahan dan ketegasan tanpa kehangatan?

Anak-anak bukan batu yang bisa dibentuk dengan palu. Mereka adalah tanah subur yang harus disirami dengan sabar, dengan nasihat yang baik, dan dengan pelukan yang hangat setelah sebuah teguran. Allah ﷻ sendiri memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk berkata dengan lemah lembut kepada Fir’aun, seorang tiran yang mengaku sebagai Tuhan. Allah berfirman:

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 44)

Jika kepada Fir’aun saja diperintahkan untuk berkata lembut, bagaimana dengan anak-anak kita yang belum sempurna ilmunya, belum teguh hatinya, dan masih mencari arah hidupnya?

Tentu, bukan berarti kita tidak boleh menegur. Tapi teguran itu harus dibingkai dengan cinta. Disampaikan dengan niat mendidik, bukan melukai. Dan yang paling penting: setelah menegur, peluklah mereka. Bukan hanya dengan tangan, tapi dengan pemahaman, penerimaan, dan harapan. Saya menyampaikan ini bukan hanya sebagai kepala sekolah, tetapi sebagai seorang hamba yang juga sedang belajar menjadi pendidik yang diridhai Allah. Saya memahami bahwa dalam perjalanan mendidik, kita akan lelah, kecewa, bahkan putus asa. Tapi yakinlah, anak-anak tidak membutuhkan kita untuk selalu sempurna. Mereka hanya butuh melihat kita tulus, jujur, dan mau berbenah.

Mari kita ubah cara pandang mendidik bukan tentang menunjukkan siapa yang salah, tapi tentang menuntun menuju yang benar. Mendidik bukan tentang menghakimi, tapi menemani. Sebagaimana Imam Ibn Qayyim rahimahullah berkata:

“Dasar pendidikan adalah kasih sayang. Jika hilang kasih sayang, maka pendidikan hanya akan menjadi hukuman.”

Sekarang kita, para guru dan orangtua, harus menjadi sumber ketenangan di tengah tekanan hidup anak-anak. Jadikan teguran sebagai pintu perbaikan, dan pelukan sebagai jembatan hati. Karena pada akhirnya, bukan kesempurnaan kita yang akan dikenang anak-anak, tapi cara kita mencintai mereka saat mereka paling butuh dikuatkan.

Semoga Allah menjadikan kita guru dan orangtua yang sabar, penuh hikmah, dan dicintai karena kelembutan kita dalam mendidik. Barokallahu fiikum.

Penulis: Rizka Silvia, S.PdI

Scroll to Top
Information Terbaru

Registration for PPDB 2026 - 2027​

SD Mutukawi 1 Malang telah Membuka pendaftaran PPDB untuk putra dan putri.